"Guru Tak Berharap Dikenang"

April 2018 saya didapuk untuk memberikan sambutan mewakili orangtua wisudawan/ wisudawati di prodi puteri saya. Bukan karena apa-apa. Pada batch kelulusan kali itu memang diharapkan agar sambutan disampaikan oleh orangtua yang juga seorang pendidik. Orangtua yang ditunjuk pertama kali adalah seorang dekan atau rektor (saya lupa) sebuah perguruan tinggi negeri. Beliau berhalangan, lalu dimintalah saya yang menggantikan.


Sebelum saya memberikan sambutan, puteri saya sudah mewanti-wanti, "ayah jangan mewek ya. Jangan juga cerita-cerita tentang adek." Oh, tentu tidak anakku sayang. Walau saya tahu bahwa perjuangan dia untuk menjadi seorang sarjana sangat pantas untuk diceritakan, tapi saya tahu dirilah. Ini bukan momen yang tepat.
Pada sambutan itu tak banyak yang saya sampaikan. Poin utama yang saya sampaikan adalah bahwa seorang guru sejati itu tak pernah minta untuk dikenang, apalagi dihormati. Guru sejati tak pernah keberatan untuk dilupakan. Satu saja keinginan seorang guru sejati: semua muridnya menjadi manusia sukses yang baik, mulia, dan bermanfaat luas. Seorang guru sejati berharap semua muridnya menjadi insan yang berbudi pekerti dan terhormat.
Lalu saya lanjutkan dengan, "adalah sifat orang berbudi pekerti tinggi, mulia dan terhormat untuk menghormati dan mengenang jasa guru-gurunya."
Para anak muda, hormati guru dengan tulus, sebagai sebuah sikap diri. Bukan untuk memenuhi permintaan sang guru agar dihormati.
Para guru, teman-teman saya semua, bersiaplah untuk dilupakan. Kita 'hanyalah' sekeping masa lalu dalam dunia masa depan anak-anak didik kita.

0 Comments:

Post a Comment